POLITIK
HUKUM PIDANA TERHADAP KRIMINALISASI PRAKTEK SANTET DALAM RANCANGAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA
DITUJUKAN
UNTUK MEMENUHI NILAI UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP T.A 2019/2020 MATA KULIAH
POLITIK HUKUM PIDANA
DISUSUN
OLEH
BENHARD
REINALDI SINAGA
170200205
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan
manusia, hukum mempunyai tujuan.
Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah
menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan
keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat diharapkan
kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuanya itu, hukum
bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan didalam masyarakat, membagi
wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum[1]
Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan
manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia
sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu
kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu
peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus
dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat
diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua
perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan
secara tepat pada peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang
diidam- idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.
Berawal
dari pemikiran bahwa manusia merupakan srigala bagi manusia lain (Homo homimi lupus), selalu mementingkan
diri sendiri dan tidak mementingkan keperluan orang lain, maka diperlukan suatu
norma untuk mengatur kehidupanya. Hal tersebut penting sehingga manusia tidak
selalu berkelahi untuk menjaga kelangsungan hidupnya, tidak selalu berjaga-jaga
dari serangan manusia lain.
Salah satu usaha penanggualangan
kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.
Namun demikian, usaha inipun masih sering dipersoalkan. Perbedaan mengenai
peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan ini, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung
beratus-ratus tahun dan menurut Herbert
L. Packer, usaha mengendalikan perbuatan anti sosial dengan menggunakan
pidana pada seorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan “suatu
problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting”.
Santet pada umumnya memang
sulit untuk dipahami atau dimengerti makna nya, namun pada dasarnya santet
merupakan bagian dari ilmu gaib yang memang dipercaya atau diyakini oleh
beberapa atau sebagian masyarakat. Santet menurut beberapa opini juga dapat
menyebabkan seseorang sebagai korban dikarenakan penyalahgunaan santet tersebut
yang digunakan sebagai media untuk membuat orang celaka, sakit, atau bahkan
kematian. Oleh karena santet dapat menyebabkan seseorang sebagai korban maka
santet dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Tindak Pidana sebagaimana yang
dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 11 ayat 1 yang
merupakan perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana.
Adapun latar belakang filosofi
santet dapat digolongkan menjadi tindak pidana adalah karena santet diakui dan
dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan menimbulkan keresahan, namun tidak
dapat dicegah dan diberantas melalui hukum karena kesulitan dalam hal
pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka perlu dibentuk tindak pidana baru
mengenai santet yang sifatnya mencegah agar perbuatan tersebut tidak terjadi.[2]
Pengertian kebijakan atau
politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun kriminal. Menurut
Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah:[3]
a.
Usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
saat.
b.
Kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Penggunaan upaya hukum termasuk
hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk
dalam kebijakan penegakan hukum karena tujuanya untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk
kedalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang
termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan
suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada
hakikatnya dalam masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam
alternatif. Dengan demikian, masalah pengendalian atau penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial
tetapi juga masalah kebijakan.
Meninjau masalah santet dalam
perspektif hukum, berarti meninjau sebagai salah satu permasalahan hukum yang
perlu adanya kajian lebih dalam tentang bagaimana kebijakan hukum pidana
terhadap tindak pidana santet karena santet merupakan perbuatan gaib yang sulit
dalam pembuktianya secara hukum.
Sebagaimana yang kita ketahui,
Indonesia merupakan Negara yang kental akan budaya masyarakatnya. Seperti
halnya apa yang ada pada masyarakat Indonesia di pedalaman, ataupun pribumi.
Pola – pola budaya tersebut melahirkan berbagai macam tardisi,
kepercayaan dan juga masih kental dengan hal – hal mistik.
Kepercayaan masyarakat terkait hal mistik masih mengakar dengan cukup kuat
menjadi sebuah mitos tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Cara pandang
masyarakat tentang santet menjadikan santet seperti sudah membudaya di kalangan
masyarakat.
Kekuatan ilmu ghaib atau santet
seringkali digunakan untuk alat memenuhi kepentingan
manusia – manusia yang berdilema. Dan sering fenomena ini kita temui
dalam jasa dunia perdukunan di Indonesia. Jasa yang ditawarkan sangat
berfariasi, seperti susuk, sumber rejeki, cepet jodoh, dan yang menjadi masalah
terbesar adalah santet jasa ghaib ini digunakan untuk ajang perang kasat mata
dan berujung pada kekerasan psikolgis manusia serta kematian bagi manusia yang
terkena santet. Sehingga sering ditemukan adanya masyarakat yang menjadi korban
dimana mereka menderita sakit bahkan kematian yang tidak masuk akal dalam dunia
kedokteran sebagai akibat tukang teluh atau dukun santet. Penyelewangan seperti
ini yang menjadi akar permasalahan dalam penegakan hukum, dan pemberian sanksi
untuk aktor santet.
Ketika ritual adat yang kental
dengan hal ghaib diselewengkan fungsinya untuk kepentingan tertentu. Dalam hal
ini, hukum Indonesia belum bisa menjelajah dan menetapkan sanksi atas aktifitas
santet yang merugikan sebagian orang. Dan secara sosiologi hukum dapat
dijelaskan bahwa kekuatan – kekuatan santet atau sihir ada yang bisa
dibuktikan kebenarannya melalui alat – alat praktinya. Serta belum
juga bisa dibuktikan praktiknya dan ini masih terkait dengan kendala praktik
ilmu sihir perdukunan yang kasat mata.
Fenomena dunia perdukunan dan
santet ini lah yang sering kali kaku dalam menafsirkan prosedur hukumnya,
karena magis atau santet dapat dipahami sebagai perilaku kriminal yang merusak
dan tidak terlihat oleh mata telanjang
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang,
maka dapat diajukan
beberapa pokok permasalahan dalam penulisan makalah
ini sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi latar belakang kriminalisasi santet sebagai
tindak pidana?
2. Bagaimanakah perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep
RUU KUHP di Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis latar belakang kriminalisasi
santet sebagai tindak pidana
2. Mengetahui perumusan santet sebagai tindak
pidana dalam konsep Rancangan KUHP Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Latar
Belakang Kriminalisasi Santet Sebagai Tindak Pidana
Santet dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “sihir/magic” diartikan sebagai:
1.
Perbuatan ajaib yang dilakukan
dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra dan sebagainya).
2.
Ilmu tentang cara pemakaian
kekuatan gaib, ilmu gaib (teluh, tuju dan sebagainya).
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa “teluh” atau tenung adalah ilmu
hitam untuk merugikan orang lain, di samping itu “tenung” juga dapat berarti
“kepandaian dan sebagainya untuk mengetahui (meramalkan) sesuatu yang gaib
(seperti meramal nasib)”
Permasalahan santet ini sebenarnya bila dilihat di masa lalu yaitu
ketika zamannya kerajaan Majapahit. Walupun dalam sistemhukum
perundang-undangan saat ini belum dicantumkan hanya dicantumkan dalam konsep
RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)..
Di zaman Majapahit, perbuatan tenung dipandang sebagai salah satu
dari enam “tatayi” (kejahatan) berat diancam dengan pidana mati.
Demikian pula di dalam beberapa sumber hukum adat di Indonesia. Misalnya dalam
hukum adat Dayak “kanayatan”, dijumpai istilah “nyampokng nyawa”
(yaitu, usaha membunuh orang lain dengan mistik/ guna-guna). “Nyampokng padi”
(perbuatan secara mistik sebagai usaha untuk merusak hasil panen/padi di
lading/sawah orang lain), dan “sarapo” (perbuatan meletakkan/menyimpan
suatu barang ke dalam rumah orang lain secara tidak wajar, sehingga diartikan
seolah-olah perbuatan “nyampokng”).[4]
Selain dari itu perbuatan yang bersifat mistik/gaib/metafisika
sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan rasional.namun demikian,
tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan masalah gaib tidak dapat
diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan rasional. Misalnya dalam
KUHP yang saat ini berlaku dalam Pasal 545-547 ada ketentuan/larangan mengenai:
a.
Perbuatan (sebagai) pencarian
untuk menyatakan oeruntungan/ nasib seseorang,untukmengadakan permalan atau
penafsiran mimpi (Pasal 545).
b.
Menjual,
menawarkan,menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk
dijual/dibagikan, jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai
kekuatan gaib (Pasal 546).
c.
Saksi di persidangan memakai
jimat-jimat atau benda-benda sakti (Pasal 547).
Dari ketentuan di atas terlihat adanya hal-hal yang bersifat
gaib/superanatural yaitu, peramalan nasib/mimpi dan jimat atau benda-benda
sakti/ berkekuatan gaib. Jadi dalam hal ini hukum formal dapat atau mungkin
saja mengatur hal-hal yang gaib/superanatural, sepanjang yang diatur bukan
substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib itu.
Permasalahan mengenai santet ini termasuk ruang lingkup maslah
kebijakan /politik hukum pidana (criminal law/penal policy) yang
sekaligus juga merupakan bagian dari masalah kebijakan penegakan hukum (law
enforcement) dan kebijakan kriminil/kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal
policy), dengan sendirinya bergantung kepada pembuat/ pengambil kebijakan
untuk menentukan perlu atau tidaknya masalah persantetan ini
dikriminalisasi/rekriminalisasi.
Salah satu pertimbangan meng-kriminalisasi-kan suatu perbuatan
(khususnya yang berhubungan dengan masalah persantetan) ialah perbuatan-perbuatan
yang berhubungan dengan praktik persantetan itu termasuk perbuatan yang
dipandang sangat tercela/membahayakan/merugikan kehidupan bermasyarakat atau
tidak[5]
Di zaman Majapahit dan dalam lingkungan masyarakat adat hal ini
merupakan sebuah delik. Bahkan seperti yang dikemukakan di atas mengenai
santet/tenung di masa Majapahit merupakan kejahatan yang berat yang pantas
diancam dengan pidana mati. Keadaan sekarang memang tidak sama dengan masa
lalu. Sehingga alasan itulah yang menjadi pertimbangan untuk
meng-kriminalisasi-kan permasalahan tindak pidana santet ini.
Dalam persoalan mengenai santet ini dalam politik hukum pidana,
tidak perlu dikaitkan dengan masalah keyakinan/kepercayaan orang pada
ada/tidaknya santet itu. Yang penting adalah, apakah praktik persantetan itu
dalam kenyataannya ada atau tidak dan apakah perlu dicegah atau tidak dengan
hukum pidana. Jadi, sama halnya dengan masalah peramalan nasib/mimpi dan
jimat-jimat yang diatur di dalam KUHP yang telah diuraikan di atas sebelumnya.
2.2
Perumusan santet sebagai tindak
pidana dalam
konsep RUU KUHP di
Indonesia
Dalam upaya mengkriminalisasikan perbuatan yang berhubungan dengan
persantetan, Konsep KUHP Baru hanya menitikberatkan perhatiannya terhadap
pencegahan (prevensi) dilakukannya praktik santet oleh para juru/tukang santet.
Yang akan dicegah/diberantas ialah profesi atau pekerjaan tukang santet yang
memberikan bantuan kepada seseorang untuk menimbulkan kematian atau
mencelakakan/menderitakan orang lain. Dengan perkataan lain, yang akan
dikriminalisasikan ialah perbuatan melawan menawarkan/memberikan jasa dengan
ilmu santet untuk membunuh atau mencelakakan/menderitakan orang lain[6]
Ilmu
gaib atau supranatural adalah ilmu yang dapat dianggap sebagai ilmu yang berada
diluar batas kemampuang manusia dalam menalaahnya, ilmu gaib juga tidak sesuai
dengan hukum alam yang berlaku karena sangat sulit untuk dibuktikan
keberadaannya oleh manusia melalui panca inderanya. Dengan manusia mengalami
kesulitan jika dihadapkan dengan ilmu gaib, seperti contoh seseorang yang
terkena santet akan sulit menyatakan bahwa dia terkena santet karena
gejala-gejala yang terlihat akan hampir sama dengan penyakit-penyakit medis
yang diketahui, sedangkan jika ditelusuri lebih dalam dengan ilmu medis akan
sulit untuk menemukan titik penyakit yang ada pada diri orang tersebut.
Kehidupan
masyarakat di Indonesia masih sangat mempercayai dengan dunia perdukunan
dilihat dari masyarakat yang belum banyak mengenal teknologi dan modernisasi
seperti masyarakat pedesaan sampai masyarakat perkotaan yang bisa dikatakan
sudah modern. Hal ini menunjukan bahwa keberadan dukun di tengah-tengah masyarakat masih sangat diyakini dan
dibutuhkan jasanya. Secara istilah sihir adalah suatu kegiatan yang mempunyai
tujuan untuk mempengaruhi orang lain secara fisik maupun pikiran dengan cara
yang tidak bisa dilihat oleh kasat mata dan dari jarak yang jauh. Sihir atau
santet banyak macamnya, ada yang disebut guna-guna dan pelet namun dari semua
macam sihir diatas memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mempengaruhi orang
lain. Biasanya sihir atau santet ini digunakan oleh seorang dukun atau
paranormal untuk berbuat hal yang negatif, seperti mencelakakan seseorang yang
di benci atau menyakiti orang yang pernah menyakiti hatinya, namun dalam prateknya
santet tidak hanya digunakan untuk sekedar menyakiti namun bisa lebih dari
menyakiti yaitu hingga berujung kematian dari seseorang yang terkena santet.
Ada juga yang mempergunakan sihir untuk membuat lawan jenisnya menjadi
tergila-gila, hal ini biasanya dilakukan oleh lelaki untuk mendapatkan hati
seorang perempuan yang diinginkannya.
Usaha
dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana juga pada hakikatnya merupakan
suatu bagian dari usaha penegakan hukum (khusus penegakan hukum pidana). Maka
dari itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian
dari kebijakan penegakan hukum. undangan ataupun hukum yang tidak tertulis.
Usaha
penanggulangan kejahatan mengunakan perbuatan undang-undang (hukum) pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat.
Oleh karena itu wajar apabila kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari
kebijakan sosial yang dapat diartikan sebagai salah satu usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat.
Konsep RUU KUHP menitikberatkan
perhatiannya pada usaha pencegahan yang dilakukan terhadap perbuatan praktek
santet di kehidupan masyarakat Indonesia. Pencegahan atau pemberantasan
terhadap pekerjaan dukun santet yang menawarkan jasa dengan memberikan bantuan
kepada seseorang untuk mencelakakan atau menimbulkan hilangnya nyawa orang
lain. Dengan kata lain yang akan dilakukan kriminalisasi adalah perbuatan
menawarkan atau memberikan jasa tersebut.
Adapun
perumusan sementara yang telah dirumuskan dalam konsep RUU KUHP yaitu dalam
Pasal 252 tahun 2019 yaitu berbunyi:
(1)Setiap
Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan,
memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain
bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau
penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling
lam 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2)
Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai
mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per
tiga).
Penerapan Pasal
252 tahun 2019 tentang persantetan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidan (KUHP) banyak menimbulkan berbagai tanggapan Pro dan
Kontra di kehidupan masyarakat Indonesia. Ada sebagian yang menganggap bahwa
kriminalisasi tentang santet hanya dapat menimbulkan fitnah, hal ini
dikarenakan belum adanya bukti nyata terhadap santet yang terjadi.
Untuk
bisa memperkuat dan membuktikan sebuah kasus santet yang terjadi di masyarakat,
bukan hal itu yang dimaksud dari segi delik formilnya. Oleh sebab itu sangat
kesulitan dalam hal pembuktian itulah maka Pasal 252 (yang dulunya Pasal 292
RUU tahun 2004) menggunakan rumusan tindak pidana secara formil, yang bukan
mempidana perbuatan santetnya melainkan mempidana perbuatan-perbuatan tertentu
yang sesungguhnya merupakan perbuatan-perbuatan sebelum perbuatan itu
benar-benar dilakukan oleh seorang dukun atau paranormal.
Kebijakan
kriminalisasi atau kebijakan hukum yang tercantum dalam RUU KUHP terhadap
perbuatanperbuatan yang berhubungan dengan ilmu hitam atau santet masih sangat
terbatas. Karena yang dapat dipidana dalam peraturan yang baru tersebut hanya
orang yang seolah-olah hanya menawarkan jasa dengan jalan “memberitahukan atau
menimbulkan harapan kepada orang lain bahwa karena perbuatannya (yang
mengandung kekuatan magis dapat menimbulkan kematian atau penderitaan bagi
orang lain, jadi terdapat kelemahan dalam perumusan konsep RUU KUHP ialah tidak
dapat menjangkau semua praktek persantetan, antara lain:
1.
Penawaran atau pemberian jasa
persantetan untuk tujuan-tujuan jahat terhadap orang lain yang tidak bermaksud
menimbulkan kematian atau penderitaan pada orang lain.
2.
Praktek persantetan atau perbuatan
menyantet yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuatan magis atau oleh
tukang santet (dukun santet) itu sendiri, tanpa permintaan orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
uraian di atas maka kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet di
Indonesia dapat disimpulkan bahwa dalam mengkriminalisasikan perbuatan yang
berhubungan dengan persantetan, Pasal 293 RUU KUHP hanya menitik beratkan
perhatianya pada usaha pencegahan (prevensi) dilakukanya praktik santet oleh
para juru/tukang santet. Yang akan dicegah/diberantas ialah profesi atau
pekerjaan tukang santet yang memberikan bantuan kepada seseorang untuk
menimbulkan kematian atau mencelakakan/menderitakan orang lain. Dengan
perkataan lain, yang akan dikriminalisasikan ialah perbuatan
menawarkan/memberikan jasa dengan ilmu santet untuk
membunuh atau mencelakakan/menderitakan orang
lain.
Latar belakang mengenai
kriminalisasi tindak pidana santet ialah, pertama pertimbangan
meng-kriminalisasi-kan suatu perbuatan (khususnya yang berhubungan dengan
masalah persantetan) ialah perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan praktik
persantetan itu termasuk perbuatan yang dipandang sangat
tercela/membahayakan/merugikan kehidupan bermasyarakat atau tidak. Di zaman
Majapahit dan dalam lingkungan masyarakat adat hal ini merupakan sebuah delik.
Bahkan seperti yang dikemukakan di atas mengenai santet/tenung di masa
Majapahit merupakan kejahatan yang berat yang pantas diancam dengan pidana
mati. Keadaan sekarang memang tidak sama dengan masa lalu. Sehingga alasan
itulah yang menjadi pertimbangan untuk meng-kriminalisasi-kan permasalaha
tindak pidana santet ini.
Kedua, karena secara filosofi
santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan menimbulkan keresahan,
namun tidak dapat dicegah dan diberantas melalui hukum karena kesulitan dalam
hal pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka perlu dibentuk tindak pidana
baru mengenai santet yang sifatnya mencegah agar perbuatan tersebut tidak
terjadi.
3.2 Saran
Kepercayaan terhadap ilmu magis atau ilmu santet
didalam kehidupan masyarakat Indonesia harus segera dihilangkan dan merubah
pola pikir masyarakat agar tidak mempercayai ilmu magis atau ilmu santet yang
diyakini keberadaannya di Indonesia. Masyarakat pun harus bijak dalam
menanggapi seseorang yang diduga berprofesi sebagai dukun santet agar tidak
melakukan tindakan main hakim sendiri.
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia khususnya
terhadap tindak pidana santet harus segera disahkan, karena dengan masih adanya
perbuatan atau kejadian persantetan yang dikhawatirkan akan ada korban santet
selanjutnya karena belom adanya peraturan perundang-undang atau aturan hukum
pidana yang belom bisa menjeratnya. Mengingat KUHP yang saat ini masih berlaku
di Indonesia adalah warisan dari Kolonial Belanda tidak mengatur masalah tindak
pidana santet yang keberadaan diyakini dan percayai di Indonesia. Usaha untuk
bisa menjerat perbuatan dukun santet dengan Pasal yang relevan serta dapat
digunakan secara maksimal maka perlu adanya ketegasan dari Pasal tersebut,
artinya tidak ada penafsiran ganda sehingga tidak timbul kebingungan apa
sebenarnya yang bisa di jerat dengan Pasal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2011.
Sudarto, Hukum dan
Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1981.
Fauzi,
Tosim, 2013. “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana Santet di Indonesia” (skripsi). Program Studi Ilmu
Hukum Program Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Raharjo, Sacipto, 1991. Ilmu Hukum,
Citra aditya bakti, Bandung.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Ditjenpp.kemenkumham.go.id, (diakses pada tanggal 11 Juni 2020)
Kementerian Hukum Dan Ham Badan
Pembinaan Hukum Nasional Jakarta ,”Perencanaan
Pembangunan,Hukum Nasional Politik Hukum Pidana
Dan Sistem Pemidanaan”, Jakarta, 2010
[1]Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hlm. 77.
[2] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1981 Hlm. 121
[3] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana,
Jakarta, 2011, Hlm
[4] Idem,Hlm. 290
[5] Idem, Hlm. 292
[6] Idem, Hlm.
293.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar